Senin, 07 Maret 2011

Ujian Nasional , harus bagaimana ?

 (sebuah renungan buat diri sebagai pengajaryang masih harus terus belajar )
“pak, saya boleh ikut ujian saja ?” pertanyaan itu muncul dari seorang anak yang sudah lebih dari 2 minggu tidak sekolah lewat akun jejaring social saya. waduh … sesederhana itukah sekolah ? kenapa tidak, toh emang yang dijadikan tolok ukur yang dominan adalah Ujian Nasional.

Sekarang komposisi nilai menjadi 40:60 jadi masih ada faktor lain selain Ujian Nasional, yaitu nilai semester 1 sampai 5 untuk tingkatan SMP. Hal itu diatur oleh permendiknas no 45 tahun 2010 tentang KRITERIA KELULUSAN PESERTA DIDIK PADA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA/MADRASAH TSANAWIYAH, SEKOLAH MENENGAH PERTAMA LUAR BIASA, SEKOLAH MENENGAH ATAS/MADRASAH ALIYAH, SEKOLAH MENENGAH ATAS LUAR BIASA, DAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN TAHUN PELAJARAN 2010/2011. Adakah hal itu merubah posisi dan peranan UN dalam menentukan hasil belajar seorang anak ?

Semestinya ya, ada perubahan sikap terhadap Ujian Nasional yang terus diusahakan tetap ada entah oleh dan untuk kepentingan siapa … tahun ini pelaksanaan Ujian nasional diatur oleh permendiknas no 46 tahun 2010 tentang PELAKSANAAN UJIAN SEKOLAH/MADRASAH DAN UJIAN NASIONAL PADA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA/MADRASAH TSANAWIYAH, SEKOLAH MENENGAH PERTAMA LUAR BIASA, SEKOLAH MENENGAH ATAS/MADRASAH ALIYAH, SEKOLAH MENENGAH ATAS LUAR BIASA, DAN SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN TAHUN PELAJARAN 2010/2011

Ujian Nasional berlaku buat semua siswa yang bersekolah di di wilayah Indonesia atau sekolah Indonesia yang ada di luar negeri. Penetapan ujian nasional sebagai parameter keberhasilan dunia pendidikan Indonesia . Kolektifitas nilai atau rataan itu menjadi hal yang kemudian menjadi ‘gengsi’ Indonesia di pergaulan internasional. Ketika hanya angka yang tertera itu adalah hal yang sangat ‘mudah’ tapi kenyataan berikutnya bagaimana angka itu muncul ? entahlah … adakah angka itu menggambarkan kemampuan yang sesungguhnya.

Gengsi, prestise dan kepentingan lain yang akan juga mempengaruhi hasil torehan angka anak-anak peserta Ujian Nasional . huft … dengan kondisi dan fasilitas yang berbeda diberi tetapan sama … adilkah ? tak ada lagi kata adil dan jangan diperdebatkan karena angka 55 itu hanya rata-rata … celoteh yang entah gimana terus diucap oleh “mereka”. Jangan Tanya siapa “mereka” karena mereka pun hanya tahu membaca saja bukan karena keinginannya.

Ada hal yang juga menggugah pada suatu pertemuan, seorang ‘bapak’ bilang “ waktu saya ujian , dulu, ibu saya menjalankan puasa untuk kelulusan anaknya , yaitu saya. Bagaimana sekarang ?”. yah … masih ada walaupun tak lagi sebanyak orang tua dulu pada masa sang ‘bapak’ melaksanakan ujian. Suatu saat di akun jejaring social saya pernah tertulis status , “menemani abang ikut try out”. Sebuah kepedulian yang pastinya masih ada.

Sikap anak, sikap orang tua, sikap guru … dan sikap banyak orang masih harus ditinjau. Ibarat mengurai benang kusut entah siapa dan bagaimana itu harus diluruskan. Banyak anak yang tidak merasa terbebani karena mereka melihat fakta ‘semua’ lulus. Format tahun ini tidak ada lagi ujian ulang. Hal yang menjadi beban berat semestinya. Setidaknya buat ‘banyak ‘ orang. Hal itu kemudian menimbulkan ‘usaha’ dari beberapa pihak agar binaan mereka tidak gagal.

Memberitahu orangtua atau sosialisasi tentang format ujian dilakukan oleh hampir semua sekolah dengan berbagai maksud. Ada yang menggugah kepedulian orang tua atau juga untuk koordinasi tentang kegiatan anak. Pelajaran tambahan juga dilakukan walau banyak tidak efektif karena anak tidak mau peduli. Bahkan usaha spiritual juga menjadi hal yang seolah ‘harus’. Istigosah atau doa bersama pun dilakukan.

Berharap usaha-usaha yang dilakukan adalah ‘legal’ dan tidak menghalalkan segala cara. Membuang atau menaruh dulu apa yang bernama “jujur” . sehingga negeri ini mulai bergerak dari nurani dan tidak hanya ambisi demi sebuah ‘harga diri’.

Semoga Allah melindungi Indonesia dari kehancuran akhlak yang emang sudah ramai dibilang hancur. Amien. (tlc-03082011)